JAKARTA – Realisasi Perpres No 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan hendaknya diadakan secara arif juga bijaksana dengan mempertimbangkan keberlanjutan partisipasi bidang kelapa sawit baik secara lokal, nasional maupun internasional. pemerintahan diminta untuk segera mewujudkan terbitnya kebijakan satu peta (one map policy) hutan yang digunakan sanggup dijadikan acuan secara nasional agar terwujud langkah penertiban yang mana win-win solution.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Yanto Santosa menyoroti bahwa inti dari permasalahan lapangan usaha sawit adalah acuan peta yang tersebut dipakai untuk melakukan penertiban kawasan hutan . ”Kebijakan satu peta yang dimaksud dicanangkan pemerintah zaman dulu, one map policy itu itu memang benar harus dipaksakan diselesaikan. Sehingga acuannya satu peta, semua sepakat. Kalau sekarang, kan Kementerian Kehutanan punya peta, Kementerian Transmigrasi punya peta. Ini adalah nggak bener,” kata Prof Yanto, Mingguan (9/3/2025).
Menurut Yanto, tumbuhan sawit telah ada sebelum Undang-Undang Kehutanan lahir. Tanaman sawit sudah ada mulai marak ditanam sejak sebelum tahun 1999-an. Karena itu, kurang bijaksana jikalau penertiban kawasan hutan diadakan dengan peta kawasan hutan versi Kementerian Kehutanan yang tersebut belum dikukuhkan secara nasional.
”Harusnya regu ini (Satgas Penertiban Kawasan Hutan) bergerak dengan mengacu untuk peta hasil penetapan kawasan hutan yang tersebut sudah dikukuhkan/ditetapkan. Perlu pengukuhan kawasan hutan dulu. Jangan menggunakan peta hutan versi Kehutanan yang dimaksud belum dikukuhkan, belum ditetapkan,” jelasnya.
Pengukuhan kawasan hutan merupakan proses penting di menetapkan status legal kemudian legitimate suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan idealnya dijalankan dengan mengundang semua pemangku kepentingan yang tersebut terkait/berbatasan dengan kawasan hutan tersebut. Jadi, penetapan kawasan hutan tiada boleh dilaksanakan secara sepihak seperti yang dimaksud dilaksanakan pada waktu ini, sehingga terkesan tak mendapat legitimasi dari pihak lain dan juga atau masyarakat.
Data Kementerian Lingkungan Hidup kemudian Kehutanan ( KLHK ) mengumumkan dari total 16,38 jt hektare kebun kelapa sawit terdapat lebih banyak kurang 3,3 jt hektare lahan berada di tempat di kawasan hutan. Untuk itu, Tim Satgas harus melakukan inventarisasi secara cermat sebab lahan sawit yang mana masuk kawasan hutan terpencar di dalam berbagai wilayah di dalam Tanah Air.
Konsultasi dengan warga kemudian pemangku kepentingan wajib dijalankan untuk meyakinkan transparansi lalu menghindari konflik sosial. Warga setempat dan juga pihak terkait diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau keberatan terkait penetapan kawasan hutan.
Setelah penataan batas kemudian konsultasi publik, pemerintah menetapkan kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan juga Kehutanan yang mencakup batas-batas kawasan hutan dan juga fungsi kawasan hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi, atau hutan produksi.
Lebih jauh, Yanto mengaku setuju dengan semangat munculnya Perpres No 5/2025 yang digunakan secara filosofis berniat bagus untuk menertibkan kawasan hutan. Karena kalau tiada diterbitkan dikhawatirkan ke depan akan menjadi pelajaran yang mana kurang baik. Hanya saja, regulasi yang dimaksud ada di dalam di Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya telah bagus lantaran telah berisi adanya sanksi denda.
‘’Ini kan mendadak muncul Perpres No 5 dikatakan akan diambil alih. Jadi menurut saya solusinya untuk menengahi ini pada Perpres ini tiada perlu disebutkan hukumannya. Karena sudah ada terang benderang tertuang pada UU Cipta Kerja. Undang-undang kan statusnya lebih banyak tinggi dari Perpres. Kalau pemerintah memang benar arif dan juga bijaksana, jalan tengahnya begitu,’’ paparnya.