Tanda Sektor Bisnis Lesu, Warga RI Malas Ngutang dan juga Nabung pada Bank

Tanda Bidang Bisnis Lesu, Warga RI Malas Ngutang lalu juga Nabung pada Bank

Jakarta – Pertumbuhan kredit loyo berdasarkan data terakhir Bank Tanah Air (BI) per April 2025. Tumbuh hanya saja sebesar 8,88%, lebih besar rendah dari catatan pada bulan sebelumnya yang digunakan belaka 9,16%.

Selain sebab permintaan untuk kredit yang tersebut makin lemah, juga disebabkan bank pada saat ini berada dalam sulit mendapatkan dana segar di bentuk Dana Pihak Ketiga (DPK).

“Kami mengawasi penurunan peningkatan kredit dua bulan terakhir lebih tinggi sejumlah faktor demand yang dominan, tapi kami juga memang sebenarnya meninjau ada keterbatasan dari sisi perkembangan DPK,” kata Deputi Pemuka BI Juda Agung pada waktu konferensi pers hasil RDG, Rabu (21/5/2025).

Untuk merespons permasalahan ini, Juda Agung mengatakan, BI telah terjadi merancang dua kebijakan untuk mengakomodir sisi demand terhadap permintaan kredit yang dimaksud lemah, juga dari sisi sumber dana bank nya yang digunakan bermasalah.

Demi menyelesaikan permasalahan permintaan kredit yang loyo, ia mengutarakan Dewan Pengelola BI telah lama memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI Rate dari sebelumnya 5,75% bermetamorfosis menjadi 5,25%.

“Diharapkan tertransmisi untuk penurunan suku bunga landing sehingga dengan penurunannya diharapkan sektor riil, korporasi, rumah tangga akan meminta, oleh sebab itu biaya lebih lanjut ekonomis kalau pinjam dari bank,” tegas Juda.

Sementara itu, untuk menyelesaikan kesulitan dari sisi penawaran, teristimewa untuk memenuhi makin terbatasnya DPK perbankan yang tersebut tercermin dari perkembangan DPK yang cenderung melambat dari 5,51% (yoy) pada awal Januari 2025 berubah jadi 4,55% (yoy) pada April 2025, BI mengeluarkan kebijakan khusus.

Peningkatan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) dari maksimum 30% berubah menjadi 35% dari modal bank. Menguatkan implementasi kebijakan RPLN ini ditujukan untuk meningkatkan sumber pendanaan bank dari luar negeri sesuai permintaan perekonomian dengan masih memperhatikan prinsip kehati-hatian, melalui penerapan parameter kontrasiklikal sebagai penambah RPLN sebesar 5%.

Penguatan kebijakan RPLN berlaku efektif sejak 1 Juni 2025, serta akan diatur lebih tinggi lanjut pada ketentuan mengenai RPLN.

“Kami lihat ada bank-bank tertentu yang tersebut pendanaan di dalam di negeri terbatas itu telah mulai mencari sumber pembiayaan luar negeri. Hal ini kita fasilitasi dengan RPLN, ini yang mana dulu maksimum 30% sekarang berubah jadi 35% jadi ruang semakin lebar,” tutur Juda.

Selain itu, juga diterapkan kebijakan pelonggaran likuiditas dengan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 bps dari 5% berubah menjadi 4% untuk Bank Umum Konvensional (BUK), dengan fleksibilitas repo sebesar 4%.

Ini salah satunya untuk rasio PLM syariah sebesar 100 bps dari 3,5% berubah menjadi 2,5% untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS), dengan fleksibilitas repo sebesar 2,5%.

Penurunan ini juga ditujukan untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan, yang berlaku efektif sejak 1 Juni 2025.

“Sehingga diharapkan ini memberikan fleksibilitas perbankan di manajemen likuiditasnya, sehingga ini memberi pelonggaran di mengupayakan peningkatan kredit,” tegas Juda Agung.

Next Article OJK: Kredit Lembaga Keuangan Naik 10,92% per November 2024, DPK Tumbuh 7,54%

Artikel ini disadur dari Tanda Ekonomi Lesu, Warga RI Malas Ngutang dan Nabung di Bank